Demokrasi

*DEMOKRASI AKAN RUNTUH, JIKA HUKUM JADI ALAT KEKUASAAN*


*Dr. Goris Lewoleba, M.Si*


*Wakil Ketua Umum dan Juru Bicara VOX POINT INDONESIA*




Sesungguhnya, dinamika kehidupan sosial politik pasca Orde Baru di negeri ini, terutama di era reformasi, telah membuka ruang dan peluang bagi tumbuhnya demokrasi, seolah seperti fajar menyingsing di pagi hari dengan cahaya terang yang tak menyilaukan mata.

Meskipun demikian, karena tanpa kontrol dan kendali hati nurani, maka corak dan cara berdemokrasi di Indonesia menjadi _kebablasan_, dan kemudian hal itu justru menjadi bumerang bagi demokrasi itu sendiri.

Pada hal, demokrasi modern pada dasarnya dibangun atas dua prinsip fundamental yaitu,  kedaulatan rakyat dan supremasi hukum.

Lebih lanjut, dapat dipahami bahwa, demokrasi tidak hanya dimaknai sebagai prosedur elektoral untuk memilih pemimpin, melainkan juga merupakan sistem politik yang menjamin hak asasi manusia, kebebasan sipil, serta kontrol terhadap kekuasaan agar tidak sewenang-wenang. 

Sehubungan dengan hal itu, maka  dengan meminjam Robert A. Dahl (1998), dikatakan bahwa, demokrasi hanya dapat bertahan jika terdapat "kontestasi politik yang bebas dan partisipasi luas dari warga negara."

Namun demikian, dalam kenyataan politik kontemporer, hukum kerap kali dijadikan sebagai alat legitimasi kekuasaan. Alih-alih menjadi instrumen keadilan, hukum justeru diperalat untuk melindungi kepentingan elite, membungkam kritik, dan mempertahankan status quo. 

Jika tren seperti ini terus  berlanjut, maka  demokrasi akan mengalami kemunduran _(democratic backsliding)_ yang berujung pada otoritarianisme yang bermuara kepada kehancuran sebuah negara, pada hal 
hukum sejatinya sebagai pilar utama dari demokrasi.

Dikatakan demikian karena, sebagaimana diketahui bahwa, dalam konteks dan konsepsi _rule of law_ atau negara hukum, hukum dipandang sebagai mekanisme pengendalian kekuasaan _(checks and balances)_. 

Hal ini telah dinyatakan oleh Montesquieu (1748) yang  menegaskan  pentingnya pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif agar tidak terjadi penumpukan kekuasaan yang absolut pada diri seorang pemimpin atau suatu rezim politik.

Dan bilamana soal  dimaksud diproyeksikan di Indonesia, maka hal ini telah ditegaskan secara eksplisit dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa "Negara Indonesia adalah negara hukum." Artinya, segala bentuk kekuasaan harus tunduk pada hukum, bukan sebaliknya. 

Dengan demikian, maka dalam praktik demokrasi, keberadaan hukum yang independen menjadi syarat mutlak agar hak rakyat terlindungi dan tidak ada pihak yang kebal hukum, tanpa kecuali.


*Ketika Hukum Dijadikan Alat Kekuasaan* 


Fenomena hukum sebagai instrumen kekuasaan bukanlah hal baru. Sejarah mencatat bahwa banyak rezim otoriter menggunakan hukum sebagai "topeng legitimasi."

 Hal yang demikian telah dipertegas oleh Levitsky & Ziblatt (2018) dalam _How Democracies Die,_ demokrasi tidak runtuh hanya melalui kudeta, tetapi juga bisa hancur secara perlahan tetapi pasti,  melalui manipulasi hukum oleh penguasa.

Ini disebabkan karena, ada beberapa praktik nyata yang menjadi indikator hukum diperalat untuk kekuasaan, antara lain, kriminalisasi terhadap oposisi politik, dimana lawan politik dijerat kasus hukum untuk melemahkan atau membungkam kritik. 

Sebagai contoh misalnya, menurut catatan Amnesty International (2022), tren penggunaan pasal karet dalam UU ITE di Indonesia banyak diarahkan kepada aktivis, jurnalis, dan oposisi politik di kalangan _Civil Society_ 

Demikian juga, dengan soal impunitas bagi elite politik, dimana kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi sering berakhir tanpa kejelasan hukum. Indonesia Corruption Watch (ICW, 2023) melaporkan bahwa hanya 2 % dari kasus korupsi kelas kakap yang benar-benar berujung pada hukuman berat.

Selain itu, realitas sosial juga memperlihatkan bahwa, selektivitas penegakan hukum, dimana 
prinsip _equality before the law_ semakin diabaikan secara gamblang di depan mata.

Dikatakan demikian karena, fakta sosial memperlihatkan secara nyata bahwa, kasus yang melibatkan rakyat kecil cenderung cepat diproses, sementara kasus yang melibatkan kelompok elite malah  diperlambat,  atau bahkan kasus seperti itu justeru  sering ditutup tanpa diketahui kemana rimbanya.

Dalam sudut pandang yang lain, dapat pula dijelaskan bahwa, ada fenomena yang semakin memperlihatkan soal  ketundukan lembaga peradilan. 

Dan terkait  dengan hal itu,  dapat pula diketengahkan bahwa, berdasarkan hasil Studi _World Justice Project_ (2023), telah menempatkan Indonesia pada peringkat 64 dari 142 negara dalam Indeks _Rule of Law._ Salah satu faktor utamanya adalah karena rendahnya independensi peradilan.


*Dampak Dari  Runtuhnya Demokrasi*


Dalam catatan sejarah di berbagai negara di dunia, ketika hukum diperalat oleh kekuasaan, maka  konsekuensi yang akan  muncul sangatlah serius, antara lain misalnya, terjadinya erosi kepercayaan publik kepada negara dan pemerintah.

Dikatakan demikian karena, menurut 
survei dari Lembaga Survei Indonesia (2023) menunjukkan bahwa, 48 % masyarakat percaya bahwa,  hukum di Indonesia lebih berpihak kepada yang berkuasa. Ketidakpercayaan ini berpotensi memicu apatisme politik di kalangan masyarakat pada umumnya.

Kemudian, sebagai derivasi dari hal di atas, adalah meningkatnya otoritarianisme, dimana dapat dinarasikan bahwa, jika hukum hanya menjadi instrumen penguasa, maka  demokrasi akan bertransformasi menjadi otoritarianisme elektoral _(electoral authoritarianism)_. Dan pada akhirnya negara memang tetap menyelenggarakan pemilu, tetapi tanpa adanya  jaminan keadilan hukum.

Demikian pula dengan ketidakadilan sosial, dimana penegakan 
hukum yang timpang,  akan memperlebar kesenjangan sosial. Kaum miskin dan lemah akan terus menjadi korban ketidakadilan struktural, sementara elite politik dan ekonomi terus menikmati impunitas yang mengernyitkan kening banyak kalangan di tengah masyarakat.

Kecuali itu, hal lain yang menjadi dampak dari runtuhnya demokrasi adalah terjadinya konflik sosial dan instabilitas dalam suatu negara. Hal ini telah disinyalir oleh Samuel P. Huntington (1991) bahwa,  ketidakadilan hukum sebagai dampak dari runtuhnya demokrasi,  merupakan salah satu pemicu terjadinya konflik politik. 

Jika hal ini dibiarkan berlalu begitu saja, maka akan muncul ketidakpercayaan publik terhadap hukum, dan dengan itu dapat pula memicu demonstrasi besar, kerusuhan sosial, bahkan delegitimasi rezim yang berkuasa sama seperti yang pernah terjadi di tahun 1998 dan  menurunkan Penguasa Orde Baru, Presiden Suharto.


*Lalu, Bagaimana Menjaga Independensi Hukum dalam Demokrasi* 


Untuk dapat mengatasi realitas yang paradoksal seperti ini, dan  agar demokrasi tidak menjadi runtuh, maka supremasi hukum harus ditegakan secara konsisten.

Dalam hubungannya dengan hal itu, maka ada beberapa langkah yang dapat ditempuh antara lain, dengan memperkuat independensi lembaga peradilan, dimana para 
hakim, jaksa, dan aparat penegak hukum harus dilindungi dari intervensi politik.

Kemudian, seirama dengan hal tersebut di atas, maka diperlukan adanya transparansi dalam proses rekrutmen dan pengawasan, yang menjadi kunci terkait dengan integritas dari para penegak hukum yang telah direkrut melalui proses yang transparan dan akuntabel.

Selain itu, diperlukan penguatan terhadap reformasi hukum, dengan menghapus pasal-pasal karet seperti dalam UU ITE yang rentan disalahgunakan untuk membungkam kritik dari berbagai kalangan di masyarakat.

Kemudian, hal yang tak kalah penting adalah mendorong partisipasi publik, dimana masyarakat sipil, media independen, dan akademisi harus berperan aktif dalam mengawasi penegakan hukum. 

Sejalan dengan hal itu, diperlukan komitmen moral dari para pemimpin di negeri ini, karena 
demokrasi hanya bisa tumbuh jika pemimpin memiliki komitmen etis untuk tidak menyalahgunakan hukum demi kepentingan pribadi atau kelompok.

Pada akhirnya, demokrasi tidak akan pernah bertahan jika hukum dijadikan alat kekuasaan. Sebagaimana ditegaskan oleh A.V. Dicey (1959) dalam teorinya tentang _rule of law_, hukum harus berlaku sama bagi semua orang tanpa pandang bulu. Jika hukum hanya berpihak pada penguasa, maka demokrasi hanya akan menjadi "tirai penutup" bagi otoritarianisme.

Indonesia sebagai negara hukum memiliki kewajiban moral dan konstitusional untuk memastikan hukum berdiri di atas keadilan, bukan kekuasaan. Sebab, hanya dengan hukum yang independen, demokrasi dapat benar-benar menjadi sarana untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 

Merdeka !!


Disclaimer !

Artikel ini merupakan Opini Pribadi dari Penulis.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak